Sejuk Lihatnya, Masjid-Gereja Ini Berdampingan, Bahkan Pengurusn Masing-masing Kakak Beradik


Masjid dan gereja di berdampingan di Desa Tempur, Keling, Jepara. (Foto: Dian Utoro Aji/detikcom)
Masjid dan gereja di berdampingan di Desa Tempur, Keling, Jepara. (Foto: Dian Utoro Aji/detikcom)

Sebuah desa di lereng Gunung Muria Kabupaten Jepara, Jawa Tengah ternyata menyimpan kehidupan yang memiliki toleransi yang tinggi. Di sana terdapat tempat ibadah masjid dan gereja yang lokasinya berdampingan.

Untuk sampai di sana melewati jalan yang berliku. Terutama dari Kecamatan Keling. Jalannya naik turun disertai pemandangan yang masih hijau.


Sesampai di lokasi, tepatnya Dukuh Pekoso Desa Tempur terdapat masjid dan gereja yang bersebelahan. Nama gereja itu Gereja Injil Tanah Jawa dan Masjid Nurul Hikmah.

Menariknya mereka dapat hidup rukun dan nyaman meski berbeda keyakinan dan agama. Bahkan di beberapa kegiatan hingga saat perayaan hari besar mereka hidup berbaur menjadi satu.

“Di situ ada monumen ciri khas. Yakni satu masjid, dan satu gereja itu berdampingan. Itu sebagai bukti, hidup berdampingan tidak ada perbedaan,” kata Kades Tempur, Mariyono saat ditemui di lokasi, Jumat (1/4/2021).


Mariyono menuturkan Desa Tempur termasuk desa yang memiliki rasa toleransi tinggi. Di desa tersebut mayoritas beragama Islam. Meskipun perbedaan keyakinan namun bisa hidup secara berdampingan.

“Tempur termasuk desa toleransi sangat tinggi, karena di wilayah presentasi 98 persen adalah Islam. Sisanya (beragama) Kristen,” terang dia.

Dia pun mencontohkan saat perayaan hari besar mereka pun saling menghormati. Selain itu sehari-hari pun warga yang memiliki perbedaan agama tetap membaur bersama-sama.

“Tolong menolong di sisi sosial saling melengkapi kami tidak membeda-bedakan dari sisi agama, lebih mengedepankan kebersamaan warga. Warga non muslim saat raya Idul Fitri juga ikut berkunjung ke tempat rumah-rumah keluarga muslim yang merayakan. Misalkan natal kita juga teman muslim bergotong royong pelaksanaan, terutama Banser ikut merayakan perayaan. Ini menunjukkan toleransi, perbedaan tidak menjadi masalah,” lanjut Mariyono.

Menurutnya di Desa Tempur terdapat 3.575 jiwa dan ada enam dukuh. Masyarakat secara administrasi beragama Islam dan Kristen. Menurutnya selama ini tidak ada konflik di lingkungan masyarakat.

“Secara administrasi di kependudukan hanya dua, islam dan Kristen. Di tempur ada enam dukuh. Jumlah jiwa saat ini 3.575 jiwa. Untuk sampai saat ini itu konflik tidak ada dengan latar belakang agama. Itu terbukti kami hidup berdampingan,” ujar Mariyono.

Dia pun berharap agar ke depan bisa menjadi contoh bentuk toleransi antar beragama di Indonesia. Dia meminta meski berbeda namun tetap satu yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia.

“Walaupun kami hidup di pelosok terpencil di sini, ini menjadi terbuka teman kita di luar sana, bahwa perbedaan itu indah, menjadi rahmat, kita dipersatukan negara Indonesia. Jangan dijadikan perbedaan mencerai beraikan memisahkan satu dengan lainnya,” harapnya.


Terpisah Pendeta Gereja Injil Tanah Jawa, Suwadi mengatakan masyarakat di Desa Tempur memiliki rasa toleransi yang tinggi. Ini terbukti dengan adanya bangunan gereja dan masjid yang letaknya bersebelahan.

“Toleransi di Desa Tempur sangat bagus sekali, sampai sekarang. Kalau ada bangunan (kerja bakti) di gereja, (yang) muslim ikut adil. Bukan hanya tenaga, material juga ikut juga andil, tenaga juga adil. Kalau ada (kerja bakti) masjid juga ikut andil sebaliknya,” terang Suwadi ditemui di lokasi.

“Aktivitas sehari-hari saling membantu dan menghargai. Secara alamiah sejak dulu sampai sekarang,” lanjut dia.


Menurutnya gereja dan masjid sudah ada sejak puluhan tahun lalu. Gereja dibangun sekitar tahun 1988 dan masjid baru tahun 2003. Menurutnya masjid yang menjadi penasihat pengurus adalah kakaknya.

“Ya dulunya itu kan memang gereja sendiri ya. Gereja dulu sekitar tahun 1988. Selang sekitar 12 tahun baru ada masjid. Kakak yang di masjid, yang gereja ini saya,” jelasnya.

Pengurus Masjid Nurul Hikmah, Abu Abdillah menambahkan selama ini masyarakat di Desa Tempur hidup secara berdampingan. Meski terdapat perbedaan keyakinan. Mereka hidup saling menghargai dan damai.

“Rukun-rukun saja antar dua agama, tidak saling berpendapat lain. Kalau ada kerja bakti. Misalkan masjid membangun, orang kristiani membantu, tapi sebaliknya ada gereja umat islam kita juga membantu. Saling sesama lah. Artinya rukun damai tidak ada masalah apa-apa,” tambah Abu.


Like it? Share with your friends!