Usai lulus universitas di bidang keuangan, saya bekerja pada sebuah bank internasional di Indonesia sebagai analis keuangan dan perdagangan. Tapi pada tahun 1998, Indonesia dilanda krisis keuangan yang menerjang Asia, dan tahun berikutnya Indonesia jatuh ke dalam kekacauan politik. Lalu, saya pun kehilangan pekerjaan.
Saya mulai mencari pekerjaan di luar negeri untuk menghidupi putri saya yang berusia tiga tahun. Waktu itu saya melihat sebuah iklan di sebuah surat kabar yang mencari peminat untuk bekerja di industri perhotelan di hotel-hotel besar di Amerika Serikat, Jepang, Hong Kong dan Singapura. Saya memilih tujuan Amerika Serikat, dan melamar.
Persyaratan yang harus saya penuhi adalah bisa berbicara sedikit bahasa Inggris dan membayar biaya sebesar Rp 30 juta (pada tahun 2001). Proses perekrutan begitu panjang, dengan banyak wawancara. Sebagai persyaratan lain, mereka juga meminta saya untuk menunjukkan cara berjalan, naik turun tangga, dan tersenyum.
“Layanan pelanggan adalah kunci untuk pekerjaan ini,” saya diberitahu saat itu.
Saya menjalani semua tes dan lulus, lalu saya mengambil pekerjaan itu. Rencananya ibu dan kakak saya yang akan merawat gadis kecil saya saat saya bekerja di luar negeri selama 6 bulan, dengan penghasilan US$5.000 per bulan (atau sekitar Rp 66 juta). Setelahnya, saya akan pulang untuk membesarkan putri saya.
Saya tiba di bandara John F. Kennedy bersama empat perempuan lainnya dan seorang pria, lalu kami dibagi menjadi dua kelompok. Johnny mengambil semua dokumen-dokumen saya, termasuk paspor saya, lalu ia membawa saya dan dua wanita lainnya masuk ke dalam mobilnya.
Sopir menempuh jalan pintas ke Flushing di Queens, sebelum kemudian mengarah ke sebuah tempat parkir dan menghentikan kendaraannya. Johnny mengatakan kepada kami bertiga untuk keluar dan masuk ke mobil lain dengan sopir yang berbeda pula.