Palingseru.com – Setiap anak pasti akan bersedih dan meneteskan air matanya saat ibu tercinta meninggal dunia. Namun, sepertinya tidak dengan anak yang satu ini. Ia malah bersyukur ibunya meninggal dunia.
Kisah ini pun menjadi viral di media sosial setelah dibagikan. Banyak netizen yang merasa terharu dengan seorang anak ini yang tetap tersenyum dan bersyukur saat ibunya meninggal dunia dan meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya.
Lalu, apakah yang terjadi ? Seperti dilansir Tribunnews.com, berikut kisah yang bisa menjadi inspiratif banyak orang.
Kisah berawal dari seorang pria yang berjalan ke arah pemakaman ibunya dengan tegap penuh kepercayaan diri dan tetap tersenyum tanpa ada sedikit pun bekas air mata yang jatuh di pipinya.
Lalu, orang-orangyang ikut melayat, masing-masing menyalaminya dan mengucapkan belasungkawa atas meninggalnya ibu pria tersebut. Ia pun menyambut salam dari orang-orang sambil memberikan senyum ramahnya.
Baca juga : 5 Kisah Inspiratif Mereka Mampu Berkurban Walaupun Kesulitan Ekonomi
Hal ini pun membuat semua pelayat merasa ada yang aneh pada diri pria ini. Warga pun berpikir jika ada sesuatu yang ganjil antara pria itu dan ibunya. Bahkan saudarinya sendiri pun juga berpikiran seperti itu.
Lalu, ia berdiri di tepi kuburan ibunya dan masuk ke dalam membantu pemakaman ibunya. Di wajahnya tetap ada senyum yang tenang meski sudah melihat sang ibu yang terbungkuskan kain kafan.
Setelah pemakaman selesai, semua pelayat pun berpulangan, begitu juga denga saurdarinya yang ia suruh pulang terlebih dahulu.
Sedangkan ia tetap berada di tepi kuburan ibunya dan sesekali tersenyum sambil menatap kuburan ibunya. Tak ada kesedihan sedikit pun di matanya.
Akhirnya seorang pak ustadz bertanya padanya. “Boleh saya bertanya, nak?” Sapa pak ustaz dari belakang mengagetkannya.
Dia pun menoleh ke belakang dan tersenyum sambil mengangguk.
Kemudian pak ustadz langsung mendekatinya dan bertanya dengan suara yang lembut. “Saya hanya ingin meluruskan rasa penasaran warga padamu, ada apa antara kamu dan ibumu?”
“Maksudnya pak?”
“Yaaah, kami tidak melihat sedikitpun rasa sedih di wajahmu.”
Ia pun langsung membuka ceritanya, “Ayahku meninggal saat aku masih remaja, dan dia ayah yang sangat baik meski bekerja pas-pasan. Dia melindungi kami dari apapun yang merusak lahir dan batin kami. Tapi aku adalah anak pembangkang.”
“Di hari terakhir ayahku, aku bertengkar hebat dengannya dan bahkan meyumpahinya hanya karena dia tak membelikan aku handphone yang kuinginkan. Aku takkan lupa saat ayahku selesai dikuburkan, pak ustadz.
Ibuku menangis setiap harinya, tubuhnya melemah dan mengurus. Namun dia tak berhenti berkeliling menjajakan bakwan keseluruh kampung meski beberapa bakwan yang terjual itu terasa asin bercampur dengan air matanya.”
“Aku melihatnya setiap saat pak, dan aku tidak bisa berhenti menyalahkan diriku yang telah membawa kekecewaan di wajah ayahku saat dia meninggal. Sejak itu, aku meyakinkan diriku bahwa suatu hari nanti ibuku akan mengalami hal yang sama. Dia akan meninggal, dia akan meninggal, dan dia akan meninggal. Dan itu hanya masalah waktu.”
“Pikiran itu terus menghantuiku dan memaksaku harus melakukan sesuatu. Aku tak bisa lagi melakukan kesalahan yang sama seperti pada ayahku. Aku mengubah semua tentang hidupku, baik duniaku maupun agamaku, karena setiap harinya aku berpikir mungkin besok adalah hari terakhir ibuku. Hingga aku berada di posisi seperti ini, pak ustadz.”
“Aku bersyukur, ibuku meninggal ketika aku tidak lagi membebani hidupnya.
Aku bersyukur, ibuku meninggal setelah aku memberinya cucu yang sehat dan berbakti.
Aku bersyukur, ibuku meninggal saat masa tuanya hanya tinggal memikirkan ibadah.
Aku bersyukur, ibuku meninggal dengan menepuk dada setiap kali dia bercerita tentangku dan saudariku.
Aku bersyukur, ibuku meninggal di rumahnya dan bukan di kontrakannya.
Aku bersyukur, ibuku meninggal sekarang ini, pk ustadz.
Aku bersyukur, ibuku meninggal penuh kebahagiaan karena aku dan saudariku selalu menghubunginya setiap hari menanyakan kabarnya dan menceritakan kabar kami.”
“Dan aku bersyukur, pak ustadz. Aku bersyukur, ibuku meninggal tanpa membawa kekecewaan kealam sana dan yakin bahwa aku dan saudariku akan terus memberinya kebanggaan yang akan dikatakannya pada Tuhan dan pada ayahku. Penyesalanku sekarang, aku harus bersabar untuk melihat senyumnya dan mendengar tawanya lagi.”
Saat itu ia pun meneteskan air mata yang begitu deras. Namun wajahnya tetap tersenyum yang menyejukan.